JENDELA
Cerpen Oleh : Tri Rusyandi (2009 112 079)
Firman, Ecep, dan Rio adalah tiga sekawan yang sudah berteman sejak
kecil. Kemanapun mereka pergi mereka selalu bersama, mereka selalu kompak dalam
segala hal, sekalipun dalam hal wanita. Kisah tiga orang kampung yang ingin
menjelajah dunia. Suatu hari, mereka bertiga mempunyai ide dan ingin sekali
pergi ke kota Jakarta. Mereka bertiga ingin mengadu nasib di kota tersebut,
walaupun banyak orang bilang Jakarta adalah kota yang kejam. Sekejam-kejamnnya
ibu tiri masih kejam kota Jakarta. Setelah mempersiapkan bekal yang cukup
merekapun bergegas pergi ke terminal. Setelah kurang lebih satu hari satu malam
dalam perjalanan mereka bertiga pun sampai di kota yang di tuju yaitu Jakarta.
Nasib sial menimpa mereka bertiga, baru saja menginjakan kaki di kota tersebut.
Mereka sudah dipalaki oleh preman dan habis semua bekal yang mereka bawa.
Nasib…..nasib….
ujar Ecep! Baru saja sampai Jakarta sudah
dipalaki preman, gimana nih nasib kita selanjutnya?
Iya nih dasar
preman kurang ajar! Rio menyambung pembicaraan Ecep.
Yang sabar???
Mungkin ini awal dari keberhasilan kita di Jakarta, Firman menenangkan.
Huh..!!!!
keberhasilan apanya, gimana kita mau cari kontrakan kalau kita tidak punya uang
sepeser pun? Ecep terus mengeluh!!!
Iya ni! Ujar
Rio, uang ludes, ijazah raib, pakaian amblas, terus gimana kita ini?
Pokoknya sabar?
Pasti ada jalan buat kita bertiga, Firman terus menenangkan kedua temannya itu
yang sedang mengeluh.
Mereka bertiga terus berjalan tak
tentu arah tujuan sambil meratapi nasib yang begitu pahit mereka rasakan.
Seharian mereka berjalan dan perut mereka pun sudah mulai keroncongan dililit
rasa lapar yang sudah tidak tertahankan.
Man! Rio
memanggil Firman. Perutku lapar banget ni? Iya Man, perutku juga lapar banget
Ecep menyambung.
Emangnya Cuma
kalian yang merasakan lapar, aku juga sebenarnya lapar banget. Tapi gimana kita
mau beli makan? Uang saja tidak punya. Kata Firman kepada kedua temannya itu!
Gimana kalau
kita mengamen saja! Kata Ecep
Betul…betul…
kita mengamen saja Man? Sahut Rio
Mau mengamen
pakai apa? Firman merasa binggung.
Ya nyanyi saja!
Kamu dan Rio yang tepuk tangan dan aku yang menyanyi! Kata Ecep.
Ide bagus tu!
Rio begitu semangat.
Ok..ok….mari
kita mulai di lampu merah sana! Firman setuju.
Merekapun dengan semangatnya
mengamen di lampu merah dengan bergaya dan berjoged seperti bintang bollywod,
serta di iring dengan tepuk tangan sebagai alat musiknya. Rupiah demi rupiah
mereka kumpulkan untuk membeli makanan. Tak terasa hari sudah petang mereka
bertiga beristirahat dan menghitung hasil dari mengamen tadi.
Wah lumayan juga
ya hasil dari kita mengamen! Kata Rio
Ide siapa dulu
dong? Ecep Markucep.
Iya…iya..
percaya aku, Rio memuji Ecep
Nah.. sekarang
kita bisa beli makanan! Ujar Firman
Ok Man! biar aku
deh yang beli makanan, dengan semangat Rio menawarkan diri.
Setelah makanan dibeli mereka pun
langsung melahap makanan tersebut dengan lahapnya.
E…. eee..eeee…..????? Ecep sendawa? Aduh..
kenyangnya
Ih! Jorok banget
sih kamu cep.
Nggak apa-apalah
Man? Yang penting perut sudah kenyang.
Ihhhhhhhh……..!!!
Firman merengut.
Kita mau kemana
ni Man? Kata Rio.
Sudah kita jalan
saja siapa tau kita beruntung nemui tempat untuk tidur.
Ya sudah deh???
Setelah makan mereka bertiga
berjalan tanpa tujuan, mereka terus berjalan dan akhir sampai di depan rumah
tua yang sudah tidak berpenghuni.
Man…man? Ada
rumah tu! Panggil Ecep kapada Firman.
Tapi serem
banget ya tu rumah sambut Rio.
Coba deh kita
masuk? Yuk! Kata Firman.
Berjalan mendekati rumah tua yang
sudah lama tidak berpenghuni.
Hi…hi… serem
banget ni rumah! Ujar Rio.
Iya serem
banget! Sambung Ecep.
Sudah..sudah..!
dari pada kita tidur di jalan mendingan kita tidur di sini, sepertinya lebih
nyaman! Kata Firman menenangkan.
Kreeek… terdengar suara pintu rumah
yang mereka buka, debu-debu berterbangan kemana-mana.
Wah… luas banget
ni rumah? Kata Firman.
Luas sih luas,
tapi tetap serem banget Man? Ujar Ecep
Yang penting
bisa tidur nyenyak kita mala mini, kata Firman lagi.
Mereka mulai membuat tempat yang
nyaman untuk tidur, debu-debu dibersikan dan dedaunan yang masuk ke dalam rumah
di sapu sampai bersih.
Ah…. Akhirnya
bisa tidur nyenyak juga!! Ujar Firman.
Malam semakin larut dan mereka
bertiga pun sudah terlelap. Suasana di dalam rumah itu seperti dalam gua yang
begitu sunyi dan hening serta hawa sejuk yang seperti bukan rumah kosong yang
ditinggalkan oleh pemiliknya. Detik berganti menit, menit berganti jam tanpa
terasa mentari sudah menyingsing di ufuk timur dan ayam pun sudah berkokok
sebelum mereka bangun.
Cep..cep..
bangun sudah pagi! Rio membangunkan Ecep.
Firman mana?
kata Ecep.
Ntah.. dari aku
bangun Firman sudah tidak ada.
Jangan..jangan..!
mereka mengucapkan bersamaan.
Man…Firman..man..Firman…!
Ecep dan Rio mencari Firman.
Iya ada apa?
Sahut Firman.
Ya ampun Man!
Kami kira kamu sudah di culik sama genderowo rumah ini. Kata Ecep.
Genderowo mbah
mu! Sahut Firman.
Aku tu penasaran
sama jendela itu? Coba deh kamu lihat.
Jendela yang
mana Man?
Itu.. sebelah
kiri dari lemari pakaian yang besar itu!
Kata Firman lagi.
Emang ada apa
dengan jendela itu? Sahut Rio.
Jendela itu
seperti lain dari yang lain, jendela itu seperti mengeluarkan cahaya yang
begitu terang! Jelas Firman.
Ah masak sih
man? Sahut Ecep
Aku jadi
penasaran nih, ada apa ya dengan jendela itu?
Mereka bertanya-tanya kepada
penduduk setempat tentang sejarah jendela yang berada di rumah tua itu. Dan
ternyata rumah tua itu adalah rumah peninggalan dari penjajah Belanda dan
jendela yang misterius yang berada di dalam rumah itu adalah jedela dari kamar
putri belanda yang cintanya tidak direstui oleh orang tuanya. Dan akhirnya
putri Belanda tersebut bunuh diri melalui jendela tersebut dengan mengantungkan
diri. Sejak saat itu arwah dari putri Belanda tersebut selalu terlihat di
jendela itu dan kadang-kadang seperti cahaya yang begitu terang. Setelah
mendengarkan cerita itu Firman, Ecep, dan Rio jadi merinding dan memutuskan
untuk tidak menginap di rumah tua itu lagi.
Mereka lalu bercerita tentang
kesusahan mereka merantau di Jakarta kepada narasumber yang telah menceritakan
sejarah jendela tersebut. Narasumber itu pun merasa iba kepada Firman Ecep, dan
Rio. Dan akhirnya mereka bertiga diperbolehkan tinggal di rumah narasumber
tersebut sampai mereka mendapat pekerjaan dan rumah kontrakan sendiri.
Tiga bulan kemudian setelah kejadian
itu, mereka bertiga telah sukses mendapatkan pekerjaan dan rumah kontrakan. Dan
kini mereka telah sukses di Jakarta dan menetap di kota metropolitan itu.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar